9 Elemen Jurnalistik menurut Bill kovach dan Tom Rosentiel dan hubungannya dengan kode etik jurnalistik


Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah seorang wartawan senior dari Amerika yang meluncurkan sebuah buku berjudul The Elements of Journalism.  Dalam buku ini, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Sembilan elemen ini mempunyai kedudukan yang sama, yaitu :

 

1.       Journalism’s first obligation is to the truth (kewajiban pertama jurnalistik adalah kebenaran)

Menurut Kovach dan Rosenstiel, elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran. Tetapi, apa itu arti “kebenaran” ?

Di dalam buku 9 elemen jurnalisme terdapat contoh yaitu, ketika Pew Research Center mensurvei para wartawan dengan menanyakan nilai apa yang mereka anggap paling penting, para wartawan menjawab “mendapatkan fakta dengan benar.”

Menurut mereka masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional, contohnya seperti polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional.  Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah dan hakim bisa keliru.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Kebenaran adalah kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Wartawan dan kritikus pers Richard Harwood memberi penjelasan bahwa kebenaran mempunyai tingkatan, “Wartawan di New York Times mengatakan kepada kami beberapa hari yang lalu bahwa New York Giants kehilangan pertandingan sepak bola dengan skor 20-8,” ucapnya saat salah satu forum komite.

“Nah, itu adalah sepotong kecil kebenaran. Tapi kisah mengapa Giants hilang bisa diceritakan dengan seratus cara yang berbeda-setiap cerita ditulis melalui lensa berbeda yang dikotori oleh stereotip dan prediksi pribadi.”

Selain itu kebenaran yang diberitakan media juga membentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah.

Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah– tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

 

2.      Its first loyalty is to citizens (Loyalitas pertamanya adalah kepada warga negara)

Kovach dan Rosenstiel bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?

Komitmen wartawan terhadap warga bukanlah sebatas egoisme professional. Dalam menyebarkan dan membuat berita haruslah bersifat akurat namun persuasif. Inilah alasan mengapa warga percaya terhadap sebuah media karena media adalah sumber kredibilitasnya. Kesetiaan kepada warga adalah arti dari indepedensi. Gagasan wartawan melayani warga Negara dapat dirasakan oleh wartawan menghasilkan berita.

Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri. Dalam buku ini terdapat dua contoh, Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-surat kabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel mengkhawatirkan banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun berbasis web, memberikan berita secara cuma-cuma atau gratis. masyarakat tak perlu membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio.

Contohnya yaitu Ketika wartawan akan mengulas tempat wisata, maka kejujuran ulasan yang menjadi utama, bukan kebohongan yang akan dipublikasikan. Jadi kalau tempat makannya kotor dan pelayanannya lama, maka akan tetap diulas jelek.

 

3.      Its essence is a discipline of verification (Intinya adalah disiplin verifikasi)

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengatakan, disiplin melakukan verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni. Jurnalisme sendiri terfokus pertama pada mendapatkan apa yang terjadi dengan benar.

Dalam buku ini, Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tidak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi yang dikarenakan tidak adanya komunikasi yang baik.

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting.

Bagi Walter Lippmann, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi. Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) serta akurat.

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

– Jangan menambah atau mengarang apa pun;

– Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;

– Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;

– Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;

– Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi, yaitu pertama, penyuntingan secara skeptis. Kedua, memeriksa akurasi. Ketiga, jangan berasumsi. Metode keempat, pengecekan fakta.

Contohnya yaitu seorang wartawan harus benar-benar meneliti berita yang akan dipublikasikan melalui media.

 

4.      Journalists must maintain an independence from those they cover (Wartawan harus menjaga kebebasan dari yang mereka liput)

Kovach dan Rosenstiel berpendapat bahwa wartawan diperbolehkan mengemukakan pendapatnya.  Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, loyalitas pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

 

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi juga harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Dalam buku ini mencontohkan ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mencari celah si wartawan. Sebuah privasi juga dibutuhkan oleh sang wartawan maupun narasumber.

Contohnya yaitu seorang wartawan harus berwsifat independent Ketika akan menulis berita/suatu permasalahan yang akan ditulis.

5.      Journalists must serve as an independent monitor of power (Wartawan harus berfungsi sebagai pemantau kekuasaan yang independen)

Tujuan peran pengawas juga melampaui hanya dengan membuat manajemen dan pelaksanaan kekuasaan transparan, untuk mengetahui dan memahami dampak dari hal tersebut. Kekuasaan ini secara logis menyiratkan bahwa pers harus mengenali di mana institusi yang kuat bekerja secara efektif.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting –sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Contohnya yaitu seorang wartawan akan melakukan investigasi suatu kasus besar di wilayahnya, maka wartawan tersebut harus siap menerima risiko yang akan terjadi setelah acara disebarkan melalui media.

 

6.      Journalism must provide a forum for public criticism and comment. (Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik)

Semua bentuk yang digunakan wartawan setiap hari dapat melayani pembuatan forum yang berfungsi mengingatkan publik akan isu-isu dengan cara yang mendorong penghakiman. Fungsi forum pers ini memungkinkan terciptanya demokrasi.

Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.

Contohnya yaitu seorang jurnalis harus menjadi wadah yang tepat untuk menyediakan acara kritik terhadap kememimpinan suatu pemimpin di wilayahnya.

 

7. Journalists must make the significant interesting and relevant (Wartawan harus membuat hal yang penting menarik dan relevan)

Tugas wartawan adalah menemukan cara untuk menarik perhatian masing-masing berita. Tantangan pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan orang dan yang kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan menarik.

“Tantangan terpenting kami berkisar memilih apa yang akan membuat pembaca tetap perhatian, “kata Howard Rheingold, penulis dan mantan editor eksekutif majalah online HotWired.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Contohnya yaitu seorang jurnalis meliput nikahan atta halilintar yang didatangi oleh presiden Jokowi, sedangkan ada peraturan bahwa pernikahan dibatasi pengunjungnya.

 

8.      Journalists should keep the news in proportion and make it comprehensive. (Wartawan harus menjaga agar berita tetap sebanding dan membuatnya komprehensif.)

Suatu kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya.

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional

Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita, karena warga bisa mengetahui mana wartawan yang ingin proporsional dan yang tidak.

Contohnya yaitu seorang jurnalis harus mempertanggungjawabkan setiap berita yang ia tulis sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

9.      Journalists have an obligation to personal conscience. (Wartawan memiliki kewajiban untuk hati nurani pribadi.)

Setiap wartawan dari ruang berita sampai ke ruang rapat harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab pribadi. Terlebih lagi, mereka memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan nurani pribadi mereka dengan suara keras dan membiarkan orang lain di sekitar mereka untuk melakukannya juga.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang untuk bersuara.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.”

Contohnya yaitu seorang jurnalis harus memiliki etika dan tanggung jawab sosial, menerapkan kode etik, standar, dan model kietika akan menyampaikan suatu berita.

Sedangkan apa itu kode etik jurnalistik?

Kode etik biasanya digunakan sebagai pedoman operasional suatu profesi. Karena wartawan merupakan sebuah profesi, maka dibuatlah kode etik jurnalistik sebagai pedoman operasional. Kode etik jurnalistik berfungsi sebagai landasan moral dan etika agar seorang wartawan senantiasa melakukan tindakan tanggung jawab sosial. Septiawan Santana dalam buku Jurnalisme Kontemporer (2017), mendefinisikan kode etik jurnalistik sebagai sekumpulan prinsip moral yang merefleksikan peraturan-peraturan yang wajib dipatuhi oleh seluruh wartawan. Kode etik jurnalistik berisi apa-apa yang menjadi pertimbangan, perhatian, atau penalaran moral profesi wartawan. Selain itu, isi etikanya juga mengatur hak dan kewajiban dari kerja kewartawanan. Landasan kode etik jurnalistik mengacu pada kepentingan publik. Sebab kebebasan pers yang ideal adalah kebebasan yang tidak mencederai kepentingan publik dan tidak melanggar hak asasi warga negara.

Apa saja isi kode etik jurnalistik?

Isi kode etik jurnalistik yaitu:

Pasal 1

Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

 

Pasal 2

Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran

Cara-cara yang profesional adalah:

a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;

b. menghormati hak privasi;

c. tidak menyuap;

d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;

e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

 

Pasal 3

Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran

a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

 

Pasal 4

Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.

d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

 

Pasal 5

Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

 

Pasal 6

Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

 

Pasal 7

Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

 

Pasal 8

Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

 

Pasal 9

Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

 

Pasal 10

Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

 

Pasal 11

Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

 

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)

Lalu apa hubungannya kode etik jurnalistik dengan 9 elemen jurnalistik menurut BILL KOVACH DAN TOM ROSENSTIE?

A.    Pasal satu kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin lima yang berbunyi “Journalists must serve as an independent monitor of power (Wartawan harus berfungsi sebagai pemantau kekuasaan yang independen)”

B.     Pasal dua kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin empat yang berbunyi “Journalists must maintain an independence from those they cover (Wartawan harus menjaga kebebasan dari yang mereka liput)”

C.     Pasal tiga kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin satu, tiga, dan empat.

D.    Pasal empat kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin satu.

E.     Pasal lima kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin empat.

F.     Pasal enam kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin satu dan tiga.

G.    Pasal tujuh kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin lima.

H.    Pasal delapan kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin empat.

I.        Pasal sembilan kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin empat.

J.       Pasal sepuluh kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin dua, tiga, dan tujuh.

K.    Pasal sebelas kode etik jurnalistik sesuai dengan 9 elemen jurnalistik, tepatnya pada poin tiga, enam, dan delapan.

Sumber:

Dewan Pers. 2011. Kode Etik Jurnalistik(https://dewanpers.or.id/kebijakan/peraturan )

Putri, S.N. 2017. 9 Elemen Jurnalistik – Bill Kovach & Tom Rosentiel. (https://snputri.wordpress.com/2017/11/22/9-elemen-jurnalistik-bill-kovach-tom-rosentiel/ )

Pratama, Cahya Diki. 2020. Kode Etik Jurnalistik: Definisi dan Isinya. (https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/21/205632869/kode-etik-jurnalistik-definisi-dan-isinya )

Redaksi Liputan 12. 2021. 9 Elemen Jurnalisme Plus Elemen ke-10 dari Bill Kovach. (https://liputan12.id/internasional/9-elemen-jurnalisme-plus-elemen-ke-10-dari-bill-kovach/ )


Prayoga Adi Wicaksono (A310180115)

Komentar

Postingan Populer